Karakter Pendidikan yang Terabaikan Di Indonesia

Minggu, 21 November 2010
Dalam sejarah panjang pendidikan di Indonesia banyak sekali terjadi pergantian dan rancang-bangun sistem pendidikan. Ini terjadi [mungkin sejak awal berdirinya republik ini] karena setiap Menteri Pendidikan atau setiap rezim tepatnya memiliki cara pandang dan ideologinya sendiri. Hal ini juga terkait dengan situasi dan kondisi sebuah pemerintahan atau rezim. 

Kalau pada masa revolusi sistem pendidikan di Indonesia lebih didasarkan dan ditujukan sebagai semangat perlawanan terhadap sistem penindasan [kebudayaan dan politik] Kolonial. Sistem pendidikan di Indonesia waktu itu lebih mendasarkan diri pada karakter pendidikan yang membebaskan. Namun, di era globalisasi yang menuntut keahlian baik skil maupun intelektuil dan kapital maka sistem pendidikan mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan keadaan. 

Akan tetapi, yang menjadi persoalan, sistem pendidikan kita dewasa ini kurang menyerap dan mengapresiasi aspirasi masyarakat banyak. Salah satunya yang menjadi polemik dan kontroversi berkepanjangan ialah sistem penilaian akhir siswa/ siswi/ peserta didik secara nasional. Sistem itu adalah Ujian Nasional [UN]. 

UN merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggarakan pemerintah guna mengukur keberhasilan belajar siswa/ siswi. Dalam beberapa tahun ini kehadirannya menjadi perdebatan dan kontroversi di masyarakat. 

Di satu pihak ada yang setuju karena dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya UN sekolah dan guru akan dipacu untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar para siswa/ siswi dapat mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian yang sebaik-baiknya. 

Demikian juga siswa/ siswi didorong untuk belajar secara sungguh-sungguh agar lulus dengan hasil yang sebaik-baiknya. Sementara, di pihak lain tidak setuju karena menganggap UN sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif dan kontraproduktif dengan semangat reformasi pembelajaran yang sedang kita kembangkan. 

Sebagaimana diketahui, bahwa saat ini ada kecenderungan untuk menggeser paradigma model pembelajaran kita, dari pembelajaran yang berorientasi pada pencapaian kemampuan afektif dan psikomotorik, melalui strategi dan pendekatan pembelajaran yang jauh lebih menyenangkan dan kontekstual, dengan berangkat dari teori belajar konstruktivisme, ke  arah pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan kognitif. 

Kita memaklumi pula bahwa UN yang dikembangkan saat ini dilaksanakan melalui tes tertulis. Soal-soal yang dikembangkan cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif.

Hal ini akan berdampak terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan di sekolah. Sangat mungkin, para guru akan terjebak lagi pada model-model pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif siswa, melalui gaya pembelajaran tekstual dan behavioristik.

Selain itu, UN sering dimanfaatkan untuk kepentingan di luar pendidikan. Seperti kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan ekonomi bagi segelintir orang. Oleh karena itu tidak heran dalam pelaksanaannya banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan. Seperti kasus kebocoran soal, mencontek yang sistemik dan disengaja, merekayasa hasil pekerjaan siswa dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya.

Wajah Pendidikan yang Kian Memprihatinkan
Permasalahan pendidikan di Indonesia saat ini tak hanya berbagai kebijakan yang kontra produktif dengan semangat dan ruh pendidikan. Tetapi, pendidikan kita juga kehilangan ide-ide besar. Terutama dalam --meminjam istilah Michel Foaucault, diskursus ilmu pendidikan. 

Pada praksis pendidikan problem tersebut antara lain adalah dirumuskannya Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan [RUU BHP] beberapa tahun silam yang sarat nuansa neoliberal. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang akan turut melegitimasi RUU BHP, Peraturan Mendiknas No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menjadi dalil keabsahan UN walaupun bertentangan dengan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional [Sisdiknas] yang telah berbuah banyak tragedi menimpa guru dan murid. Juga keputusan Mahkamah Konstitusi [MK] tentang gaji guru yang masuk dalam alokasi 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [APBN] untuk
dunia pendidikan, dan banyak lagi lainnya. 

Sementara pada tataran fundamental pendidikan kita tak banyak ide-ide besar, pikiran-pikiran besar yang mampu menjadi diskursus ilmu pendidikan dan kemudian menjadi landasan filosofis dan ideologis yang kokoh bagi sistem pendidikan nasional ["Membaca Ki Hajar Dewantara," Edi Subkhan, 2008].

Pendidikan kita semakin hari semakin merosot dan jauh dari istilah pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan atau pendidikan sebagai alat pembebasan. Kita menyaksikan terjadi suatu degradasi dan demoralisasi [peluruhan kebudayaan] di dunia pendidikan kita. Apa buktinya? 

Banyak hal sesungguhnya dapat dijadikan bukti. Dan, bukti-bukti itu secara umum bisa kita bagi dalam dua hal. Yakni, pertama, kemerosotan pendidikan di Indonesia saat ini terjadi melalui hal teknis. Yaitu, dipisahnya kata "pendidikan" dengan "kebudayaan". 

Ini terkait dengan dipisahnya Departemen Pendidikan dengan Departemen Kebudayaan, yang dulunya menjadi satu–Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan [Depdikbud/P dan K]. Sekarang menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata [Depbudpar]. Seolah-olah, kebudayaan hanya berwujud dalam arketip-arketip dan wisata-wisata pulau [sekarang kita sering mendengar istilah wisata budaya]. 

Ya, itu benar. Tapi, itu bukan satu-satunya dan bukan yang utama. Kebudayaan sesungguhnya mengandaikan adanya nilai, norma, adat-istiadat, serta kultur dan karakter suatu bangsa. Dan, di dalam nilai suatu bangsa Indonesia, merujuk pada jati diri bangsa, filosofi, dan Ideologi. Yakni, PANCASILA! 

Dengan dipisahnya Departemen Pendidikan dengan Departemen Kebudayaan mengindikasikan adanya usaha melepaskan nilai budaya dari proses pendidikan. Nilai budaya menjadi hilang dari pendidikan, yang sesungguhnya nilai tersebut inheren [melekat] serta saling berkelindan, juga tidak dapat dilepaskan/ dipisahkan satu sama lainnya! 

Hal teknis lain tentulah, termasuk ide dijadikannya UN sebagai ukuran/ standarisasi
mutu dan keberhasilan siswa/ siswi sekolah secara nasional. Di situ terjadi proses "perobotan/ robotisasi" manusia sebagai individu yang memiliki budi pekerti dan bagian dari kebudayaan. 

Para peserta didik menjadi kehilangan kepekaan sosialnya [sence of social crisis] atau meminjam istilah Soekarno sebagai hilangnya kasadaran budi nurani manusia [social consciousness of men]. Karena, terbatas hanya memiliki kemampuan teknis [skill] dan hanya menjadi manusia "siap pakai" [hanya diaplikasikan untuk kerja dan kerja atau ilmu untuk ilmu]. 

Hal teknis lainnya adalah dibuatnya UU BHP [meski, syukur telah dibatalkan oleh MK] yang mengarah pada komersialisasi pendidikan. UU BHP sesunggunya mirip dengan UU yang pernah dibuat di masa kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda. Di mana orang-orang pribumi dilarang menyelanggarakan suatu badan/ yayasan pendidikan atau sistem pendidikan ala Indonesia.  

Kedua, hal non-teknis. Dengan kata lain, saya menduga adanya "agenda tersembuyi" [hidden agenda] yang terjadi pada dunia dan sistem pendidikan di Indonesia, yang datangnya dari dalam dan luar. Dari dalam artinya, pemerintah memiliki kepentingan "tertentu" dengan dipaksakannya UN dan UU BHP. Dari luar artinya, ada suatu upaya merontokkan ideologi bangsa oleh kekuatan "asing" dengan menghilangkan kebudayaan dari pendidikan. Ada upaya "Barat-isasi" dengan hanya menjadikan Bahasa Inggris sebagai salah satu subjek/ materi wajib dalam UN dibanding bahasa Indonesia sendiri misalnya.

Menjadi pertanyaan besar di dunia pendidikan Indonesia, mau dibawa ke mana arah pendidikan kita? Ke mana hilangnya istilah pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan dan pendidikan sebagai alat pembebasan?

Bercermin pada kenyataan dunia pendidikan kita saat ini, yang suka tidak suka, kita katakan mengalami dekadensi akut jika pendidikan dipahami sebagai bagian dari kebudayaan dan alat pembebasan. Meski kita juga tidak bisa menutupi beberapa kemajuan di sisi lainnya [persoalan kompetensi]. 

Akan tetapi, gambaran dari marak dan mewabahnya kasus korupsi di Indonesia belakangan ini. Ditambah lagi dengan kasus pengemplangan dan penggelapan pajak, kemudian, "rusak"-nya moral para pejabat pemerintah atau negara baik itu di DPRD/RI [legislatif], Mahkamah Agung [MA], Kejaksaan dan Kehakiman [yudikatif], dan ditingkat eksekutif, mengindikasikan sesuatu yang lain.  

Kasus suap Jaksa Urip, penggelapan pajak oleh Gayus Lumbun, dugaan pembunuhan oleh Antasari Azhar, Susno Duaji, dan juga Edmon Ilyas yang diduga menerima uang pajak gelap dan memiliki rekening liar misalnya, jika dirunutkan dan dikaitkan, menunjukkan bahwa ada yang salah dalam dunia dan kurikulum pendidikan kita. 

Secara moral [keshalehan pribadi], mereka adalah orang yang baik [minimal untuk keluarganya]. Edmon Ilyas misalkan, ia adalah orang yang baik di mata masyarakat lingkungannya. Ia selalu ramah jika berhadapan dengan masyarakat dan selalu bertegur sapa dengan tetangga. Bahkan, ia juga membangun rumah ibadah. 

Begitupula Gayus Lumbun, ketika salah-satu stasiun TV menyiarkan berita dengan topik masa remaja dan kepribadian Gayus Lumbun beberapa waktu lalu. Ayah Gayus Lumbun malah tidak percaya dengan kasus yang diperbuat oleh anaknya. 

Ia mengatakan bahwa Gayus anak yang baik, rajin, dan pandai di sekolahnya. Gayus juga selalu bersikap santun pada orang tuanya. Demikian pula halnya dengan Antasari Azhar, Susno, dan Edmon. Mereka adalah orang yang sangat baik dan dicintai keluarganya. Lalu, apanya yang salah dengan mereka? Pandidikankah? Justru, mereka orang yang berprestasi dan bertitel!

Kalau mau jujur, bahwa memang ada yang keliru bahkan salah dalam sistem pendidikan kita. Sistem dan kurikulum pendidikan di Indonesia saya kira, kini telah kehilangan ruh dan maknanya serta tercerabut dari akar budayanya sendiri. Selama ini sistem pendidikan di Indonesia telah alpa dengan pendidikan budi pekerti/ adab [karakter].

Pendidikan di Indonesia juga alpa dengan sistem meritokrasi [proses pencapain-pencapaian prestasi], sehingga hanya menciptakan manusia-manusia medioker [orang yang suka hidup dalam dunia keremeh-temehan, hedon, dan instan dalam mencapai suatu tujuan. Misalnya, agar cepat kaya, ya, korupsi].

Oleh karena itu, program pendidikan ke depan yang harus diutamakan adalah sistem pendidikan karakter. Mengapa? Karena banyak orang yang baik/ shaleh secara individu [ruang privat], tetapi belum tentu menjamin mereka juga shaleh secara sosial [ruang publik]. Ketika mereka menjabat posisi publik, ternyata mereka tidak mampu merevolusi dan mentransformasi keshalehan privatnya tersebut ke dalam posisi publik di mana ia ditempatkan.   

Atas persoalan di atas, saya ingin mengatakan bahwa di Indonesia banyak terjadi kontradiksi/ paradoksal dalam kehidupan. Paradoksal yang disebabkan oleh pendidikan yang tidak berangkat dan bertitik-tolak dari pendidikan karakter. Lantas, pendidikan karakter yang seperti apa, bagaimana, dan bersumber dari mana? 

Jelas, pendidikan karakter yang mampu membangun insan-insan Indonesia yang berbudaya, yang mampu membangun kesadaran dan disiplin diri, dan, mampu membangun serta mewujudkan keshalehan privat menjadi keshalehan publik. Dan, jelas pula, pendidikan karakter yang bersumber dari budaya, falsafah, ideologi, dan jati diri bangsa Indonesia. 

Lalu bagaimana caranya? Mari kita rumuskan bersama, dan, kita beri kepercayaan pada Pak Nuh sebagai Mendiknas untuk mewujudkan karakter pendidikan Indonesia yang sesungguhnya, demi mewujudkan cita-cita proklamasi dan UUD 1945, yaitu, mencerdakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan bersama, kita bisa. Siapa tahu ini saatnya! 

Kendala Pendidikan Di Indonesia

Selasa, 16 November 2010
kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Indonesia memiliki daya saing yang rendah Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.

Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain. Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.

Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:

(1). Rendahnya sarana fisik,

(2). Rendahnya kualitas guru,

(3). Rendahnya kesejahteraan guru,

(4). Rendahnya prestasi siswa,

(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,

(6). Mahalnya biaya pendidikan.

* Rendahnya Kualitas Sarana Fisik

Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

* Rendahnya Kualitas Guru

Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasny. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3). Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.* Rendahnya Kesejahteraan Guru

Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel.

* Rendahnya Prestasi Siswa

Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah.Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.

* Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan

Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

* Mahalnya Biaya Pendidikan

Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.

MahAlnya Dunia PenDidikaN

Minggu, 31 Oktober 2010
Pendidikan pada saat ini tidak lagi menjadi kegiatan spontan tanpa suatu pengorganisasian yang ketat dan terpadu. Orang tua telah memberikan peranan dan fungsi pendidikan rumah kepada sekolah-sekolah mulai dari play group hingga perguruan tinggi. Orang tua juga masih memasukkan anaknya ke lembaga-lembaga kursus dan lembaga bimbingan belajar termasuk mengikutkan anak pada les-les privat di rumah.

Orang tua mengambil sikap seperti ini karena mereka merasa tidak punyai waktu untuk melaksanakan pendidikan rumah secara efisien. Juga karena mereka sudah terikat dengan kesibukan profesional mereka entah sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, karyawan perusahaan, orang bisnis, atau sebagai buruh bangunan. Pendidikan dalam paradigma berpikir sebagian orang tua pada saat ini, merupakan peran tunggal para guru - dan seolah hanya di sekolah proses pendidikan itu dilakukan.

Kenyataan ini mengakibatkan hampir seluruh proses pendidikan anak oleh orang tua di rumah dilimpahkan ke sekolah-sekolah. Bahkan soal pembinaan moral keagamaan tidak lagi menjadi urusan keluarga saja melainkan menjadi urusan lembaga pendidikan formal di sekolah. Dengan demikian maka proses pendidikan akhirnya mengalami pergeseran makna yang tidak signifikan dengan misi dasarnya "memanusiakan manusia".

Efek terhadap pelembagaan pendidikan telah menimbulkan dampak sosial yang tidak sepele. Fakta bahwa sekolah sudah hadir di tengah masyarakat sebagai suatu lembaga sosial dan menjadi sub-sub sistem sendiri, tidak lagi dapat di sangkal oleh siapa pun juga. Proses pelembagaan pendidikan secara formal lewat sekolah didesak oleh perkembangan masyarakat yang beralih dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri dan teknologi, maupun oleh tuntutan kebutuhan yang diakibatkan pertumbuhan dan perkembangan itu sendiri. Soal peningkatan produksi, misalnya, membutuhkan suatu kerja yang tidak setengah-setengah baik dalam hal penggunaan waktu, peralatan, dan perhitungan biaya laba-rugi. Semua ini membutuhkan dan mengandalkan ilmu pengatahuan sebagai pra syarat utama pencapaiannya. Dan untuk itu, rupanya keluarga dan rumah tangga bukanlah tempat yang paling cocok. Maka sekolah pun tampil sebagai alternatif baru sebagai lembaga pengembangan ilmu pengetahuan secara professional.

Penting dan perlunya lembaga pendidikan sekolah menjadi kentara kalau ditempatkan dalam konteks modernisasi pembangunan yang berciri semesta. Bagaimana pun hampir tidak ada negara modern yang maju dalam segi modernisasi tanpa pendidikan sekolah yang dikelola secara profesional. Itu berarti, modernisasi pembangunan hanya berjalan kalau ada tenaga-tenaga profesional yang dididik dan dibina menurut disiplin ilmu yang dibutuhkan. Dan di sekolah hal itu akan terpenuhi.

Sayangnya, proses pelembagaan pendidikan bukan saja membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) semata, tetapi pelembagaan pendidikan juga telah turut melahirkan berbagai masalah sosial yang tidak manusiawi. Dari proses pelembagaan pendidikan itu akhirnya tidak semua masyarakat bisa mendapatkan kesempatan pendidikan - yang ujung-ujungnya tidak sedikit anak-anak usia sekolah yang terpaksa tidak menikmati indahnya dunia pendidikan dan kemudian memilih menjadi pengamen, pengemis, penjual koran, buruh bangunan, dan lain sebagainya. Akibat pelembagaan pendidikan itu juga, gap antara masyarakat kaya dan miskin menjadi semakin lebar - sehingga munculnya kecemburuan sosial yang kemudian melahirkan masalah sosial baru.

Pada tataran ini Ivan Illich, seorang ahli pendidikan mengamati dampak negatif yang timbul setelah terjadinya proses pelembagaan pendidikan lewat sekolah-sekolah. Tesis Illich yang pokok mengatakan bahwa sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal, kini tampil dan menghadirkan dirinya sebagai suatu lembaga struktural baru yang justru menggali jurang (gap) sosial. Sebagai suatu lembaga sosial, sekolah sudah tidak lagi dapat menjalankan peran dan fungsi sosialnya secara terpadu.

Sekolah sebagai suatu institusi sosial dalam pengamatan Ilich telah melembagakan dirinya sebegitu rupa sehingga tidak berbeda jauh perangai dan wataknya dari institusi-institusi sosial lainnya yang cenderung berciri elitis dan mempertahankan status quo. Bahkan segelintir orang yang mengenyam pendidikan formal, akan membentuk kubu elite sosial setelah ada legitimasi lewat pendidikan formal berupa ijazah, kepandaian, kesempatan belajar untuk menjadi tenaga ahli, yang dalam kehidupan bermasyarakat sering memegang peranan dan posisi kunci dalam membentuk kebijakan sosia-ekonomi yang menyangkut hidup orang banyak. Dalam situasi seperti ini, maka peluang korupsi, kolusi, dan nepotisme termasuk monopoli kepentingan dan kebutuhan sering tak terhindarkan.

Pada kekinian, pengelolaan lembaga pendidikan sekolah secara profesional sesuai tuntutan zaman telah menjadikan sekolah sebagai suatu barang istimewa yang sangat mahal biayanya. Soal peningkatan mutu pendidikan, misalnya, selalu mengandalkan ketersediaan fasilitas, manajemen yang berbobot, dan tenaga pengajar yang mumpuni. Atas nama itu semua, maka diperlukan biaya pendidikan yang mahal pula. Dengan demikian maka sebetulnya sekolah menjadi barang istimewa yang mahal biayanya, sehingga masyarakat kelas menegah ke bawah tidak bisa memperoleh pendidikan.

Masuk sekolah pada kekinian tidak semudah dan semurah 10-30 tahun yang lalu. Untuk masuk Sekolah Dasar swasta di Jakarta pada saat ini, misalnya, orang tua diharuskan terlebih dahulu membayar uang gedung 5-7 juta rupiah. Selain itu, SPP yang harus dibayar per bulan Rp.250.000-500.000, belum lagi uang seragam dan buku yang diharuskan beli di sekolah. Jika di jenjang pendidikan paling dasar saja biaya pendidikannya sudah sedemikian mahal maka sudah pasti jenjang pendidikan menegah dan pendidikan tinggi lebih mahal lagi - yang dengan sendirinya ada batasan kemampuan ekonomi masyarakat untuk menerima pendidikan di Indonesia .

Pada konteks inilah Ivan Illich sampai pada kesimpulan bahwa dalam praksisnya, sekolah sering menjadi alat legitimasi sekelompok elite sosial. Karena itu, Illich dengan lantang berteriak, "Bubarkanlah sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Buka dan kembangkan praksis pendidikan sekolah bebas - bebas dari segala birokratisme yang melahirkan sekelompok elite sosial serta bebas dari tuntutan profesionalisme yang menghasilkan pendidikan biaya tinggi."

Jika kita cermat, letak masalah dalam pendidikan kita adalah adanya pelembagaan pendidikan yang sedemikian ketat lewat undang-undang pendidikan, birokratisme pendidikan, dan kurikulum pendidikan - yang tidak didukung kontrol yang jelas dari elite kekuasaan. Gugatan dialamatkan pada dunia pendidikan kita saat ini juga karena pendidikan untuk semua (education for all) telah direduksi menjadi sekedar pendidikan hanya untuk mereka yang kaya saja - setidaknya dilihat dari kenyataan yang ada saat ini.

Potret Dunia Pendidikan SD di Papua

Kamis, 21 Oktober 2010
Dalam satu ruangan kelas, Yulianus Ulo (25) harus bergantian mengajar anak-anak kelas I dan II SD Persiapan Gueintuy di Distrik Warmare, Kabupaten Manokwari, Papua Barat.

Usai 10 menit mengajarkan 1 + 1 bagi 10 anak kelas I yang hadir saat itu, ia harus berpindah ke papan tulis kedua yang berisi pelajaran Bahasa Indonesia kelas II. Ketika lepas dari pengawasan guru, anak-anak kelas I itu asyik bermain sendiri sehingga suasana sangat berisik.

Masih di ruangan itu, Kepala Sekolah Yahya Wonggor dengan kalem mengajarkan pelajaran perkalian bagi anak-anak kelas III. Saat Yahya ada kegiatan di kota, tugas Yulianus bertambah. Ia harus mengajar di ketiga kelas sekaligus, lengkap dengan semua mata pelajarannya di satu ruang kelas dan saat bersamaan. Demikian pula jika Yulianus absen di kelas.

”Waduh, saya sakit kepala mengajar dua kelas bersamaan. Ributnya bukan main. Tetapi inilah kondisinya, anak-anak harus mendapatkan pendidikan,” tutur Yulianus, putra asli Gueintuy. Meski hanya berbekal ijazah sekolah menengah atas, ia telah mengajar anak-anak SD Persiapan ini selama tiga tahun.

Proses belajar-mengajar yang tak sehat ini juga berpengaruh pada siswa putra-putri asli Papua setempat yang sebagian besar masih bertelanjang kaki itu. Mereka kesulitan menerima pelajaran sekolah.

Saat Kompas mencoba bertanya kepada seorang anak kelas III, berapa 7 x 5, anak itu spontan mengerahkan semua jari tangan dan kaki serta jari teman-temannya untuk melipatkan tujuh jari sebanyak lima kali. Hasil perkaliannya pun salah, 34.

Yulianus mengakui anak-anak setempat baru mengenal angka dan belum mahir dalam berhitung. Kemampuan membaca siswa-siswi juga masih jauh dari harapan. ”Yang sudah lancar membaca baru tiga anak, itu pun anak kelas III semua,” ujarnya.

Balai kampung
Saat lulus SMA tahun 2005, Yulianus melihat murid SD Persiapan Gueintuy hanya diajar seorang guru. Karena itu, ia memberanikan diri menggunakan ijazah SMA-nya untuk menjadi guru honorer di SD pecahan dari SD Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) Warmare itu dengan bayaran Rp 200.000 per bulan. Nominal yang sangat jauh dari upah minimum regional Papua Barat, Rp 1,2 juta.

Selama mengajar yang dimulai tahun 2005, ia berusaha meningkatkan kapasitasnya dengan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Mah-Eisa di Kota Manokwari yang berjarak sekitar 13 kilometer dari Gueintuy. Biasanya, ia pergi kuliah seusai mengajar yang maksimal sampai pukul 11.30. Usahanya membuahkan hasil, pada bulan Februari ia diwisuda dengan gelar sarjana muda di STIE.

Proses belajar-mengajar di SD Persiapan Gueintuy berlangsung di balai kampung setempat. Balai ini setiap hari Sabtu pagi juga digunakan untuk ibadah Gereja Kristen Alkitab Indonesia sehingga anak-anak harus diliburkan.

Sebenarnya, bangunan baru bagi anak-anak SD Persiapan ini sudah tersedia dengan tiga ruang kelas yang berjarak sekitar 500 meter dari balai kampung. Namun, mereka belum pindah ke bangunan berwarna kuning itu karena belum tersedia perabotan kelengkapan kelas.

Sementara saat proses belajar-mengajar sekarang di balai kampung, pembeda kelas I dan II berdasarkan susunan kursi plastik yang diatur sejajar dengan jarak pemisah tidak lebih dari 1 meter. Di sisi berlawanan, kursi juga diatur sejajar untuk tempat duduk anak kelas III.

Tak ada meja yang digunakan siswa putra-putri asli Papua itu untuk menulis. Mereka menulis hanya beralaskan paha masing-masing. Sementara papan tulis hanya disandarkan ke dinding sehingga guru harus berjongkok saat menorehkan kapur tulisnya.

Yahya Wonggor menuturkan, SD Persiapan Gueintuy ini dirintis sejak tahun 2000. Pasalnya, di kampung dengan sekitar 80 keluarga ini, sebagian besar anak-anak malas berangkat ke sekolah terdekat di SD YPK Warmare yang jaraknya mencapai 4 kilometer.

”Kalau tidak sekolah sejak SD, mereka tidak akan berpendidikan. Saat besar nanti, mereka hanya akan menghabiskan waktu untuk mabuk. Padahal, orang Papua harus berpendidikan agar cepat maju,” ujarnya.

Kini, untuk sementara SD Persiapan hanya menampung anak-anak kelas I, II, dan III. Untuk kelanjutan kelas IV, V, dan VI hingga SMP dan SMA, mereka harus melanjutkannya ke kota distrik di Warmare.

Bersekolah di SD Persiapan itu orangtua siswa tidak ditarik uang sepeser pun. Meski demikian, tingkat kehadiran anak-anak sangat rendah. Dari total 60 siswa, tak jarang yang hadir hanya separuhnya. Penyebabnya, anak-anak malas ke sekolah dan tidak ada dorongan orangtua.

Kondisi serupa

Pemandangan serupa juga terdapat di SD Inpres Sugemeh Amban Manokwari. Di SD yang hanya berjarak 3 kilometer dari kantor Gubernur Provinsi Papua Barat dan kurang dari 400 meter dari Universitas Negeri Papua ini, satu ruangan digunakan untuk proses belajar-mengajar murid kelas I hingga IV. Murid kelas V dan kelas VI juga menggunakan ruangan sama saat siang hari.

Kepala SD Inpres Sugemeh Budi Sunarso mengatakan, kondisi ini telah berlangsung sejak sekolah didirikan tahun 1998. Sekolah ini pindahan dari daerah pedalaman Menyanbouw karena warganya pindah bersama-sama ke Amban.

Kini, Budi mengajar dengan dibantu seorang guru tetap dan seorang guru honor. Masing-masing mengajar dua kelas di satu ruangan dalam waktu yang sama. Bisa dibayangkan bagaimana ribut dan konsentrasi guru dan anak terpecah.

Ketika Kompas menyambangi sekolah itu, beberapa waktu lalu, dua guru sedang mengajar anak-anak kelas I hingga IV. Kondisinya lumayan baik dibandingkan dengan kelas di Gueintuy. Peserta didik dan guru sudah dilengkapi meja dan kursi kayu yang berimpit dan membelakangi antara kelas I dan III serta kelas II dengan IV.

Guru honorer setempat, Lilis Rumansara, mengaku tetap sulit berkonsentrasi saat mengajar. Ia berharap ruang kelas tambahan bagi proses belajar-mengajar segera disediakan. Kini, sebuah ruang kelas memang telah disediakan Pemerintah Provinsi Papua Barat. Namun, ruang itu belum dapat digunakan karena dipakai untuk gudang menyimpan semen dan berbagai bahan bangunan untuk pembangunan dua ruang baru yang disediakan Pemerintah Kabupaten Manokwari. Papua Barat, yang pemerintahannya mulai eksis sejak 2006, berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional 2008, memiliki 777 sekolah dasar negeri/swasta dengan 109.246 siswa. Angka putus sekolah di daerah ini cukup tinggi, yaitu 3,69 persen (2008), atau telah membaik dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 5,28 persen.

Ketua Dewan Adat Papua Wilayah Manokwari Barnabas Mandacan mengatakan, gambaran kondisi sekolah di Warmare dan Amban seperti yang diuraikan di atas cukup menunjukkan kualitas pendidikan di Papua. ”Saya melihat peningkatan kualitas pendidikan hanya tampak di kota. Di daerah pedalaman, rata-rata guru memang ada, tetapi jarang hadir karena sering di kota dengan berbagai alasan,” ujarnya.

Hal-hal seperti ini, kata Barnabas, membuat masyarakat menilai status otonomi khusus beserta seluruh kewenangan dan dana yang diberikan pusat kepada pemda telah gagal dilaksanakan. Ia menekankan, jika peningkatan pendidikan yang menjadi salah satu amanat otonomi khusus tidak dilaksanakan, teriakan-teriakan ”merdeka” akan terus terdengar.

Ia menuturkan, masyarakat hanya mengetahui pemerintah daerah menerima triliunan rupiah dana otonomi khusus, tetapi seperti tak menetes kepada mereka. Ia mencontohkan, tahun 2010 ini pertama kalinya Papua Barat menerima dana otonomi khusus sebesar Rp 1,75 triliun. ”Pemerintah daerah harus membuka secara transparan kepada masyarakat akan tiap rupiah penggunaan dana-dana itu,” ujarnya.

Sementara itu, cendekiawan Papua Barat, Prof Frans Wanggai, mengakui, perkembangan pendidikan belum memenuhi harapan masyarakat pasca-berlakunya otonomi khusus bagi Provinsi Papua sejak 2001. ”Masyarakat ingin cepat melihat perubahan, tetapi kemajuan itu perlu proses, evaluasi, dan penyempurnaan yang membutuhkan waktu,” ujarnya.

Masalah yang sering di hadapi oleh orant tua dalam Memotivasi Anak Untuk Belajar

Menumbuhkan Motivasi Belajar dalam Diri Anak

Saat berbicara di hadapan orang, masalah motivasi dalam belajar adalah yang paling banyak ditanyakan. Rendahnya kemauan belajar pada sebagian besar pelajar saat ini telah membuat banyak orangtua menjadi cemas dan khawatir.
Sebenarnya motivasi itu apa sih? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, MOTIVASI adalah dorongan yang menyebabkan seseorang mau melakukan sesuatu untuk mencapai sebuah tujuan. Dengan kata lain, motivasi belajar baru akan tertanam jika anak-anak mengerti bahwa mereka belajar untuk sebuah alasan atau tujuan. Masalahnya, alasan atau tujuan yang akan kita sampaikan juga harus benar. Karena jika salah arah, motivasi belajar tidak akan bertahan lama sehingga cepat pudar dan luntur.
Berdasarkan pengalaman dan hasil observasi di lapangan, banyak orangtua yang memaksa anaknya belajar agar mendapatkan nilai bagus saat menghadapi ulangan. Ada juga orangtua yang hanya ingin anaknya selalu mendapat nilai sempurna (10) sehingga ketika pulang membawa nilai 9 saja sudah dimarahi. Akibatnya, prestasi belajar anak tidak akan bertahan lama. Mengapa? Karena saat masih kecil, anak sangat membutuhkan rasa aman. Dan, hal ini hanya akan timbul jika anak mendapatkan cinta kasih yang tulus dan tanpa pamrih dari orangtuanya.
Bayangkan, apa yang akan terjadi jika anak dimarahi karena tidak bisa memenuhi standar yang ditetapkan oleh orangtuanya? Perlahan tapi pasti motivasi yang sudah ada akan mulai terkikis. Anak akan kehilangan rasa aman karena merasa tidak mungkin dapat menyenangkan hati orangtuanya jika tidak mendapat nilai bagus di sekolah. Saat rasa aman hilang, dorongan untuk berprestasi pun mulai mendapat tekanan berat. Akhirnya, saat tingkatan kelas semakin tinggi dan pelajaran menjadi lebih berat dan sulit, anak sudah kehilangan gairah belajar. Jadi, segala sesuatu yang dipaksakan tidak akan pernah bertahan lama.
Hal lain yang penting kita tanamkan dalam diri anak adalah mengenai proses belajar. Belajar adalah sebuah usaha untuk mendapatkan kepandaian atau ilmu. Karenanya, perlu dilakukan terus-menerus agar anak tumbuh menjadi pembelajar seumur hidup atau life-long learner. Jangan sampai anak berpikir bahwa aktivitas belajar hanya dilakukan saat masih duduk di bangku sekolah saja. Sehingga, ketika sekolah selesai, proses belajar juga usai.
Kini, bagaimana kita bisa menumbuhkan motivasi dalam diri anak agar mau belajar untuk dirinya sendiri? Ada tiga hal utama yang harus terpatri dulu dalam pikiran dan penalaran kita sebelum masuk pada cara atau teknik memotivasi anak.
1. Berani Menjadi Diri Sendiri
I do not try to dance better than anyone else. I only try to dance better than myself. ~ Mikhail Baryshnikov
Langkah pertama, kita harus meyakinkan setiap anak bahwa mereka itu unik. Artinya, tidak ada yang persis sama di dunia ini bahkan saudara kembar sekalipun. Jadi, anak harus mengenal dirinya sendiri dulu. Tahu kelebihan dan kekurangan masing-masing. Cara belajar setiap anak juga berbeda. Sehingga, orangtua memegang peranan penting dalam menyampaikan pesan ini kepada anak.
Jika anak tahu bahwa mereka tidak dibandingkan dengan orang lain, maka tidak ada beban psikologis saat diminta untuk berprestasi. Konsekuensinya, anak akan lebih leluasa menggali dan mengembangkan semua potensi yang ada dalam diri. Selanjutnya, tanamkan dalam diri anak bahwa mereka mampu dan memiliki kesempatan untuk terus menjadi lebih baik lagi dari hari ini, asal saja mereka mau. Jika ada kemauan, pasti ada jalan. Artinya, perbaikan atau peningkatan yang berkesinambungan perlu dilakukan agar anak bisa mencapai prestasi maksimal sesuai dengan kemampuan yang ada.
2. Berani Bermimpi
Shoot for the moon. Even if you miss, you’ll land among the stars. ~ Brian Littrell
Saat anak masih kecil, pernahkan kita bertanya seandainya sudah besar nanti mau jadi apa. Semakin tinggi cita-cita, semakin kita punya senjata untuk mendorong mereka. Karena, untuk mencapai impian dibutuhkan usaha dan kerja keras. Sebagai contoh, jika cita-cita seorang anak adalah ingin menjadi pilot atau dokter, kita bisa mulai menanamkan hal positif dalam diri mereka. Tanyakan kepada mereka, “Jika hendak menjadi pilot atau dokter, perlu tidak mendapat nilai bagus dalam pelajaran Matematika/Biologi/Fisika? Untuk mendapat nilai bagus, perlu tidak belajar dengan giat dan rajin?” Kunci utamanya adalah tetapkan impian setinggi mungkin kemudian beri dorongan positif untuk meraih cita-cita tersebut. Di sini, orangtua harus pandai dan cermat dalam menggali dan mengarahkan anak dengan pertanyaan-pertanyaan yang membangun.
Bandingkan, jika orangtua beraksi negatif saat mendengar anaknya kelak ingin menjadi dokter. “Apa, mau jadi dokter? Nilai matematika kamu saja jeblok, mana mungkin bisa jadi dokter. Jangan pernah bermimpilah!” Bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi jika orangtua terus-menerus menghilangkan harga diri anaknya. Kepercayaan diri anak tidak akan tumbuh jika sering dicemooh, apalagi oleh orang yang paling dekat dengannya. Orangtua harus yakin dan percaya bahwa anaknya bisa. Sebab, biasanya kata-kata orangtua sangat berpengaruh dan bisa berperan sebagai racun atau obat yang mujarab. Jadi, berhati-hatilah dengan kata-kata yang akan kita ucapkan sehingga mulailah memupuk pikiran yang positif dalam diri kita.
Sebagai contoh, waktu putra saya, Eric masih duduk di kelas V SD, beberapa teman memperingatkan saya bahwa jika anak sudah duduk di bangku SMP, maka orangtua harus mencarikan guru les pelajaran untuk mereka. Alasannya, kita sudah tidak bisa lagi mengajarkan pelajaran SMP sehingga anak yang pintar sekalipun juga banyak yang les.
Saya hanya mengangguk walaupun dalam hati bertanya-tanya, “Apa iya?” Kemudian, saya mencoba untuk melihat ke belakang. Dulu orangtua saya tidak pernah repot mengurusi saya belajar dan semuanya oke saja, tuh! Jadi kalau dulu saya bisa belajar sendiri, maka anak-anak juga harus bisa. Saya lebih suka jika anak memiliki kemampuan belajar sendiri dan bisa mencari solusi jika menemui masalah. Jadi, bagi saya, les pelajaran adalah pilihan terakhir jika seorang anak memang tidak mampu mengikuti pelajaran yang diberikan di sekolah.
Sejak hari itu, saya bertekad dan mulai fokus mengarahkan anak-anak agar bisa mengembangkan self-learning ability atau kemampuan belajar sendiri. Benar! Kedua anak saya tidak pernah ikut les pelajaran. Bahkan, sejak mereka duduk di kelas 1 SMP, saya sudah tidak perlu lagi membimbing dan mengarahkan mereka belajar.
3. Berani Gagal
Success is not final, failure is not fatal. It is the courage to continue that counts. ~ Winston Churchill
Sering kali kita memaksa anak belajar karena takut mereka mendapat nilai jelek. Sehingga, secara tidak langsung, yang kita tanamkan dalam diri anak adalah “Awas! Jangan pernah gagal, ya!” Padahal, kegagalan itu sangat berguna dan memang dibutuhkan sebagai cambuk untuk maju. Percayalah, kegagalan akan membuat anak kita menjadi lebih kuat dan tahan banting. Tentu saja, saya tidak bermaksud agar anak-anak dibiarkan sampai tidak naik kelas. Orangtua harus punya perhitungan yang matang. Kalau terus mendapat nilai jelek juga tidak benar.
Sebagai contoh, ketika masih duduk di IV SD, putri saya, Lisa pernah mendapat nilai 2 untuk ulangan matematika. Walaupun gundah, saya tetap berusaha untuk tenang. Saat terpuruk, yang dibutuhkan anak adalah dukungan orangtuanya, bukan omelan yang terus-menerus. Kemudian, kami mengevaluasi apa yang menjadi akar masalah. Waktu itu, Lisa memang lemah di pelajaran Matematika. Jadi, saat nilai ulangan berikutnya naik menjadi 4, dengan senang hati saya langsung memuji usaha dan kemajuan yang telah dicapai. Ajaib! Setelahnya, Lisa tidak pernah lagi mendapatkan angka mati untuk ulangan Matematika. Paling rendah hanya 5 dan itupun hanya sesekali saja.
Menjadi orangtua zaman sekarang tidak bisa lagi dengan hanya memakai cara-cara lama yang kita dapatkan secara turun-temurun dari orangtua atau generasi diatas kita. Menjadi orangtua zaman sekarang jauh lebih sulit dan rumit. Kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi di satu sisi memang telah membuat hidup kita menjadi lebih nyaman dan praktis. Tetapi, dampak negatifnya juga tidak tanggung-tanggung. Misalnya, anak-anak sekarang lebih suka bermain game di depan komputer daripada membaca atau bercengkerama bersama keluarga. Sehingga, orangtua sekarang harus lebih kreatif dan terus mengasah otak agar peka terhadap perkembangan zaman. Jika hal ini kita lakukan, maka tugas sebagai orangtua pasti akan menjadi lebih mudah dan ringan.
Ketika anak ‘berkuasa’ atas dirinya sendiri, sadar bahwa dia boleh memiliki cita-cita setinggi langit, dan tidak menyerah di saat kegagalan datang menyapa, maka tugas orangtua sebagai mesin pendorong bagi anak akan jauh lebih mudah.
Ada beberapa teknik yang cukup berhasil saya terapkan kepada Eric dan Lisa (anak-anak saya) ketika mereka masih kecil, antara lain:
1. Bercerita
Saya sengaja mengajak mereka tidur lebih awal supaya punya waktu untuk mendongeng atau bercerita sekitar 5-10 menit bagi mereka. Setiap cerita selalu saya akhiri dengan pesan moral yang dapat dipetik. Tentu saja, lama-kelamaan saya kehabisan cerita sehingga saya mulai mengarang cerita sendiri. Biasanya cerita saya kait dengan kejadian sehari-hari. Misalnya, anak-anak kecil paling malas kalau disuruh belajar, bukan? Jadi, saya mulai bercerita tentang seorang Putri Raja yang malas belajar sehingga tidak disukai banyak orang. Biasanya Lisa langsung protes, “Mama nyindir aku, ya?” Trus langsung saya jawab, “Kog Lisa yang tersinggung? Memang hari ini Lisa malas belajar, ya? Ya udah, mama ganti cerita yang lain saja.” Tentu saja Lisa tidak mau jika cerita tersebut saya ganti karena dia pasti ingin tahu apa yang terjadi dengan Putri Raja tersebut di akhir cerita. Secara tidak langsung, bercerita bisa menumbuhkan rasa penasaran / rasa ingin tahu dalam diri anak. Setuju?
Kemudian, cerita saya teruskan…  Karena malas, suatu hari Putri Raja tersebut kena batunya. Akhirnya, dia pun sadar dan mulai berubah menjadi rajin. “Jadi Lisa, dalam hidup ini, kita harus punya tujuan. Kalau malas, jelas tidak ada tujuannya karena tidak perlu berbuat apa-apa, hanya duduk atau tidur saja. Sedangkan, kalau mau rajin dan supaya sikap tersebut bisa bertahan lama, tanyalah kepada diri sendiri, rajin itu tujuannya apa sih? Dan, apa untungnya kalau saya rajin?”
Saat ini, karena anak-anak saya sudah besar tentu cerita di atas sudah lama saya tinggalkan dan saya ganti dengan cerita yang berasal buku-buku motivasi atau bacaan lain yang saya baca, dan dari hal-hal yang terjadi sehari-hari. Bagi saya, bercerita sangat membantu dalam menyampaikan sebuah pesan, apalagi pesan yang bisa meningkatkan motivasi anak. Anda akan takjub bagaimana anak-anak begitu mudah dan cepat mengerti serta menangkap pesan yang kita maksud. Dengan bercerita, anak-anak tidak akan merasa dikritik atau dikuliahi. Akibatnya, pesan yang disampaikan akan mudah meresap dan menetap dalam diri mereka.
2. Memuji
Saat Eric masih duduk di kelas TK-B, saya membaca sebuah buku karangan Martin E. P. Seligman, Ph.D. yang berjudul “The Optimistic Child”. Salah satu teknik yang sangat manjur yang sudah saya terapkan kepada anak-anak waktu itu adalah ‘Cara Memuji’. Sebelum itu, yang saya tahu adalah jika anak mendapat nilai bagus, maka pujian yang disampaikan adalah ‘Kamu Hebat, Nak’ atau ‘Kamu Pintar’. Juga, jika anak bersikap baik, maka pujian yang umum adalah ‘Kamu Anak yang Baik’. Ternyata, dari buku tersebut saya belajar bahwa pujian harus diberikan secara spesifik/khusus. Alasannya, jika anak kita dibilang pintar, padahal dia tahu kalau dia hanya pintar dalam beberapa pelajaran saja sedangkan dalam pelajaran lainnya nilainya hanya pas-pasan, maka dia akan menganggap orangtuanya tidak berkata jujur atau apa adanya.
Sebagai contoh, ketika anak mendapat nilai bagus untuk pelajaran matematika, maka katakanlah, “Kamu pintar dalam pelajaran Matematika, ya Nak.” Atau ketika anak bersikap sopan kepada tamu yang datang, maka katakan, “Mama senang sekali karena kamu tadi bersikap sopan kepada teman mama.” Ketika kita memuji kepandaian atau kebaikan anak secara spesifik, maka akan tumbuh rasa optimis dalam diri anak. Jika anak menjadi optimis, otomatis motivasi diri akan tertanam dengan mudah. Jadi, sebuah pujian yang spesifik akan menjadi obat mujarab untuk menumbuhkan motivasi belajar dalam diri anak.
3. Target
Satu hal yang selalu saya tanamkan kepada anak-anak adalah buatlah target (nilai) yang akan dicapai. Ketika anak-anak sadar akan target tersebut, maka orangtua pun akan mudah dalam membimbing atau mengarahkan  mereka dalam membuat rencana belajar agar target bisa tercapai. Saya masih ingat, waktu masih anak-anak masih duduk di Sekolah Dasar, target minimum untuk nilai rata-rata rapor yang menjadi target Eric adalah 7.5, sedangkan Lisa adalah 6.5.
Dengan target dan rencana yang ada di tangan, biasanya hasil yang diraih selalu melebihi target. Bukan itu saja, prestasi belajar juga akan stabil karena anak-anak sudah terbiasa disiplin dan bekerja untuk mencapai target yang telah ditentukan sendiri. Seandainya, jika target tidak tercapai, orangtua tidak perlu marah. Mari bersama-sama dengan mereka, kita lakukan evaluasi. Apa yang membuat target tidak tercapai dan langkah-langkah apa yang akan diambil agar target untuk semester berikutnya bisa tercapai.
Sebenarnya, dari pengalaman saya bersama para orangtua yang datang atau telepon untuk berkonsultasi, cara-cara diatas bukanlah sesuatu yang susah untuk diterapkan. Masalahnya, banyak orangtua tidak cukup konsisten dan sering buyar (tidak fokus) karena berharap semuanya bisa dengan cara cepat/instan. Jadi, jika anda ingin berhasil menumbuhkan motivasi belajar dalam diri anak, hanya ada dua hal yang harus diingat: FOKUS dan KONSISTESI.

Membuat Karya Tulis Ilmiah Tentang Penyusunan Peneltitan Tindakan Kelas

Langkah-Langkah Penyusunan Penelitian Tindakan Kelas

Sedikitnya 342.000 dari 2,7 juta guru di Indonesia gagal menembus golongan kepangkatan IVB karena mengalami kesulitan dalam membuat karya tulis ilmiah.
Mengapa guru kesulitan membuat karya tulis ilmiah? Padahal dalam melaksanakan tugasnya, guru memiliki banyak peluang yang bisa diteliti berkaitan dengan kegiatan belajar-mengajar (KBM) di sekolah. Begitu banyak permasalahan yang dihadapi guru dalam proses KBM itu, sehingga, tanpa disadari, sudah sedemikian banyak masalah yang dapat diatasi. Materi pelajaran dapat disampaikan dengan baik, sesuai dengan tujuan, sementara siswa pun dapat menerima pelajaran dengan memuaskan.
Banyak pendekatan, teknik, metode, dan strategi pembelajaran inovatif yang bisa dilakukan guru, yang dapat dijadikan karya tulis. Salah satu bentuk karya tulis dalam bidang pendidikan, khususnya kegiatan pembelajaran adalah penelitian tindakan kelas (PTK) atau classroom action research.
Menurut Tatang Sunendar (widyaiswara LPMP), PTK sangat bermanfaat bagi guru untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran di kelas. Dengan melaksanakan tahap-tahap PTK, guru dapat menemukan solusi dari masalah yang timbul di kelasnya sendiri, dengan menerapkan berbagai ragam teori dan teknik pembelajaran yang relevan secara kreatif. PTK merupakan penelitian terapan, guru dapat melaksanakan tugas utamanya mengajar di kelas, tanpa perlu meninggalkan siswanya. PTK bisa mengangkat masalah-masalah aktual yang dihadapi guru di lapangan.
Tahap PTK yang bisa dilakukan,
pertama, tahapan pra-PTK yang meliputi identifikasi masalah, analisis masalah, dan rumusan masalah, rumusan hipotesis tindakan. Tahapan pra-PTK ini sesugguhnya suatu refleksi guru terhadap permasalahan yang ada di kelasnya, yang merupakan masalah umum yang bersifat klasikal, misalnya kurangnya motivasi belajar di kelas, rendahnya kualitas daya serap klasikal, dan yang lainnya.
Kedua, perencanaan tindakan disusun untuk menguji secara empiris hipotesis tindakan yang ditentukan dengan mempersiapkan materi/bahan ajar, rencana pengajaran yang mencakup metode/teknik mengajar, serta teknik atau instrumen observasi dan evaluasi yang akan digunakan.
Ketiga, tahap pelaksanaan tindakan yang merupakan implementasi dari semua rencana yang dibuat. Tahap yang berlangsung di dalam kelas ini adalah realisasi dari segala teori pendidikan dan teknik mengajar yang telah disiapkan sebelumnya, dengan mengacu kepada kurikulum yang berlaku. Hasilnya diharapkan berupa peningkatan efektivitas keterlibatan kolaborator untuk membantu mempertajam refleksi dan evaluasi yang dilakukan melalui pengamatan, dan teori pembelajaran yang dikuasai dan relevan.
Keempat, tahap pengamatan tindakan dilakukan dengan observasi melalui alat bantu instrumen pengamatan yang dikembangkan peneliti. Hal itu untuk mengumpulkan data tentang pelaksanaan tindakan dan rencana yang sudah dibuat.
Kelima, tahap refleksi terhadap tindakan untuk memproses data yang didapat saat melakukan pengamatan. Data yang didapat kemudian ditafsirkan, dianalisis, dan disintesis.
Tahapan tersebut akan membentuk sebuah siklus dan siklus tersebut bisa diulang-ulang dengan perbaikan-perbaikan yang diperlukan sampai peneliti merasa puas terhadap hasil yang dicapai dalam suatu kegiatan PTK yang dilakukan.
Penerapan PTK dalam pendidikan dan pembelajaran memiliki tujuan memperbaiki dan meningkatkan kualitas praktik pembelajaran secara berkesinambungan sehingga meningkatkan mutu hasil instruksional, mengembangkan keterampilan guru, meningkatkan relevansi, meningkatkan efisiensi pengelolaan instruksional serta menumbuhkan budaya meneliti pada komunitas guru. Agar guru dapat memahami, menguasai, dan menerapkan KTSP dengan jelas, mereka dapat membaca buku-buku PTK dan buku-buku penelitian yang lainnya.




Siswa dengan Gaya Belajar Auditorial (bagaimana menghadapinya..???)

3 09 2008
Hmm… setiap guru, ketika mengajar di dalam kelas, pasti dihadapkan pada puluhan siswa dengan karakter yang kompleks, tidak hanya itu, cara belajar mereka pun bermacam-macam. Sebut saja, ada yang banyak berbicara, ada pula yang suka menonton saja atau ada pula yang lebih suka berjalan-jalan dalam kelas daripada duduk dan memperhatikan.

Mungkin perilaku tersebut dikarenakan cara belajar mereka. Tiap guru mestinya memperhatikan bagaimana cara belajar siswanya. Berikut salah satu cara atau gaya belajar siswa yaitu Belajar Auditorial, Wilujeng Nyakseni… J

Belajar Auditorial adalah sebuah gaya belajar seseorang yang lebih efektif dengan cara mendengarkan informasi yang didengar yang disampaikan secara lisan. Seperti dalam pidato, ceramah maupun pembicaraan lain. Pelajar Auditorial sering menggunakan kata-kata atau ujaran seperti “Kedengarannya bagus” atau “ding dong” ketika menemukan sebuah penyelesaian. Mereka (pelajar Auditorial) akan lebih fokus pada apa yang ia dengar atau apa yang orang bicarakan.

Ketika seorang pelajar Auditorial sedang membaca, sangat sulit baginya untuk fokus atau berkonsentrasi pada sebuah bacaan tanpa sesuatu suara mengiringinya. Dalam situasi ini, pelajar Auditorial, sangat nyaman baginya bekerja sambil mendengarkan musik atau mendengarkan suara di belakangnya (suara TV, orang mengobrol, dll) Gaya belajar Auditorial merupakan salah satu cara belajar sebagian siswa, sebagian lagi adalah pelajar visual, dan sebagian lagi pelajar.

Sehingga dapat dijelaskan bahwa belajar auditorial adalah gaya belajar seseorang yang mengandalkan pendengaran dan pembicaraan sebagai cara utama belajarnya. Pelajar auditorial harus mendengar jelas untuk dapat memahami informasi, dan sebaliknya akan sangat sulit baginya untuk memahami instruksi tertulis. Mereka kerap kali menggunakan kemampuan hearing skills (mendengar) dan repeating skills (pengulangan) untuk memilah-pilah informasi yang diberikan.

Karakteristik Pelajar Auditorial:
  1. Baik dalam bercerita
  2. Biasanya bawel
  3. Menyelesaikan masalah dengan argumentasi
  4. Memiliki banyak perbendaharaan celotehan, seperti “dengerin dong”, “iya, aku dengar
  5. Menggerakkan bibir atau berbicara dengan dirinya sendiri ketika fokus menyelesaikan tugas.

Bagaimana mengajar para Auditorial..???
Hmm… di dalam kelas memang dihadapkan pada karakteristik siswa yang kompleks. Tetapi untuk mengajar siswa auditorial adalah mendengarkan kuliah, contoh dan cerita serta mengulang informasi adalah cara yang mereka sukai. Para auditorial mungkin lebih memilih merekam suara mereka daripada mencatat. Itu karena mereka suka mendengarkan informasi berulang-ulang.
Mereka mungkin meminta guru untuk mengulang materi yang diberikan, mereka tentu saja menyimak, tetapi mereka suka mendengarkannya lagi. Jika anda (guru atau orang tua) melihat mereka mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas, bantulah mereka berbicara pada diri sendiri untuk memahaminya (konyol memang, tapi anda dapat mencobanya).

Pelajar auditorial lebih suka menyelesaikan tugas atau  pe er sambil mendengarkan musik, sementara siswa lainnya akan merasa terganggu dengan hal itu. Di luar negeri bahkan menyediakan sound system di ruang kelasnya sebagai pembantu konsentrasi pembelajaran. (Di Indonesia ada gak yah..?)

Para guru dapat membuat materi dan hapalan menjadi sebuah lagu dengan melodi yang sudah dikenal baik. Misal ubahlah lirik lagu “balonku” menjadi nama-nama Propinsi atau yang lainnya.
Masih terdapat dua jenis cara belajar siswa, yaitu Pelajar Visual dan Pelajar Kinestetik. Mudah-mudahan dibahas pada posting  selanjutnya. Semoga bermanfaat.

BIOLOGI

SEL

PENDAHULUAN
Sel (Cellula = kamar) adalah suatu bangun yang berukuran kecil, seperti sel / penjara. Sel biologi merupakan unit terkecil penyusun tubuh makhluk hidup. Sel merupakan unit struktural dan fungsional yang berarti sel merupakan unit dasar bagi tubuh makluk hidup dan memiliki fungsi kehidupan seperti makhluk hidup penyusunnya. Teori sel lainnya menyebutkan sel sebagai kesatuan hereditas, yang berarti sel dapat mewariskan sifat yang dimiliki kepada keturunannya
Sel pertama kali dilihat oleh Robert Hooke yang mengamati penampang melintang sayatan tipis gabus dari batang tumbuhan. Bentuk yang tampak adalah berupa rongga kosong segi enam, Setelah beberapa dekade diketahui sel berisi cairan yang disebut sitoplasma.
Kanker merupakan bentuk ketidaknormalan kerja sel disebabkan pembelahan sel yang sangat cepat dalam jumlah besar dan tidak terkendali. Kawin suntik suatu teknik pembuahan sel telur oleh sel sperma tanpa melibatkan pejantan. Sel telur lebah yang tidak dibuahi oleh sel sperma tumbuh menjadi lebah pejantan.


II. BENTUK SEL
Sel yang menyusun tubuh makhluk hidup memiliki bentuk yang bervariasi. Berikut macam-macam variasi bentuk sel yang menyusun tubuh manusia
Tabel bentuk-bentuk sel penyusun tubuh manusia


III. MAHKLUK BERSEL SATU
Mikroorganisme seperti bakteri, protista dan jamur, adalah makhluk hidup yang tubuhnya terdiri atas satu sel. Berikut beberapa bentuk makhluk hidup bersel satu

IV. TIPE SEL

a. Sel Prokariot
Berdasarkan ada tidaknya membran nukleus, terdapat dua jenis sel, yaitu sel prokariota dan sel eukariota. Sel Prokariot adalah sel yang belum memiliki membran inti. Bahan inti tersebar dalam sitoplasma.
Sel prokariot memiliki bentuk yang sederhana. Berikut variasi bentuk sel prokariot


(http://reynoldsscienceonline.files.wordpress.com)

b. Struktur sel prokariot
Ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan dengan sel eukariot yaitu 1 – 10 mili mikron. Materi genetik (DNA) tersebar dan terpusat pada daerah yang disebut nukleoid. DNA ini berbentuk sirkuler. Diluar nukleoid terdapat DNA sirkuler lain yang ukurannya lebih kecil yang disebut plasmid
Struktur sel prokariotik dari arah luar sebagai berikut

Keterangan:
# Nukleoid adalah daerah tempat materi genetik (ADN) terkonsentrasi
# Ribosom adalah organel tempat sintesa protein yang memiliki struktur yang sama dengan ribosom sel eukariota, hanya saja ukurannya lebih kecil.
# Membran plasma adalah organel yang menjadi pembatas antara sel dengan lingkungan luar dan menyeleksi zat yang akan masuk atau keluar sel
# Dinding sel adalah organel yang terletak disebelah luar dari membran sel. Tersusun oleh molekul protein dan karbohidrat yang disebut peptidoglikan. Dinding sel berperan melindungi sel dari keadaan yang buruk
# Kapsul merupakan lapisan yang terletak disebelah luar dinding sel. Kapsul berbentuk gelatin yang berfungsi sebagai pelindung sel terhadap perubahan suhu yang sangat ekstrim.
# Filli merupakan benang-benang halus, yang berfungsi sebagai alat untuk menempel pada substrat, dan alat berhubungan antara dua sel saat melakukan konjugasi.
# Flagel berupa benang-benang kasar yang berfungsi sebagai alat gerak

c. Sel Eukariot
Sel eukariot merupakan sel yang telah memiliki nukleus sejati, disebabkan bahan inti telah dibungkus oleh suatu membran. Antara nukleus dengan membran plasma dibatasi oleh medium semi cair yang disebut sitoplasma. Sitoplasma sel eukariotik mempunyai sejumlah organel sel yang masing-masing memiliki fungsi spesifik.
Sebagian besar makhluk hidup unit terkecil penyusun tubuhnya berupa sel eukariot. Sel ini memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan sel prokariot

Gambar dibawah ini menunjukkan bentuk dan struktur sel eukariot


(http://www.ebi.ac.uk)

V. STRUKTUR DAN FUNGSI ORGANEL SEL
1. Membran Plasma atau Membran sel

(http://www.colorado.edu)

a. Struktur
Membran plasma memiliki struktur seperti lembaran tipis, yang tersusun atas molekul lipid (lemak) dan protein. Komponen lemaknya berupa pospolipid rangkap (bilayer fosfolipid), dan komponen proteinnya berupa glikoprotein. Terdapat dua jenis protein membrane yaitu protein yang terbenam (protein integral), dan protein yang menempel (protein perifer).
b. Fungsi
Membran plasma berfungsi sebagai pembatas antara sel dengan lingkungannya, mengontrol dan mengendalikan pertukaran zat kedalam dan keluar sel, karena memiliki sifat selektif permeable, sebagai reseptor rangsang dari luar, pelindung isi sel dan mempertahankan bentuk sel.

2. Nukleus

(http://spectorlab.cshl.edu/)
a. Struktur
Nukleus tersusun atas: membran berpori, benang kromatin, nukleolus, dan nukleoplasma. Struktur membran sama dengan membran plasma, terdiri atas dua lapisan lemak yang berbentuk pospolipid, dan protein yang berbentuk glikoprotein. Membran plasma tidak memiliki pori seperti membran nucleus.
Benang kromatin adalah benang-benang dalam inti yang dapat menyerap warna. Benang-benang ini saat sel membelah menjadi memendek dan menebal yang disebut kromosom.
Nukleolus adalah benda berbentuk bulat kecil dalam nucleus, yang berfungsi membuat ARN.
Nukleus berisi cairan yang disebut nukleoplasma

b. Fungsi
Mengendalikan seluruh kegiatan sel, Mengandung informasi genetik dalam bentuk DNA yang dapat menduplikasi saat sel membelah

3. Retikulum endoplasma


(http://micro.magnet.fsu.edu)
a. Struktur
Berupa sistem membran yang komplek, berbentuk saluran yang pipih dalam sitoplasma dan berhubungan dengan membran inti. Dalam sel organel ini terdapat dua bentuk yaitu reticulum endoplasma kasar dan reticulum endoplasma halus. Re yang ditempeli ribosom tampak berbintik-bintik sehingga tampak kasar. RE ini disebut RE kasar


b. Fungsi
Retikulum endoplasma ber-peran dalam sintesis dan transpor berbagai macam subtansi kimia. RE kasar yang ditempeli oleh ribosom berfungsi mengedarkan protein yang disintesis oleh ribosom, sedangkan RE halus yang tidak ada ribosomnya, berperan dalam sintesis lemak, dan metabolisme karbohidrat

4. Badan Golgi


a. Struktur
Struktur berupa kantung pipih bertumpuk yang tersusun dari ukuran besar hingga kecil dan terikat membran. Struktur ini menyebar dalam sitoplasma

b. Fungsi
Berkaitan dengan kegiatan ekskresi atau sekresi (glikoprotein, karbohidrat, dan lemak). Menyempurnakan molekul protein dari RE dengan menambahkan karbohidrat sehingga menjadi glikoprotein. Peran badan golgi yang lain adalah membentuk enzim-enzim pencernaan yang belum aktif (zimogen) dan membentuk lisosom.

5. Mitokondria


(http://en.citizendium.org)
a. Struktur
Bentuk bervariasi, kebanyakan berbentuk lonjong, Merupakan organel bermembran rangkap yang memiliki kemampuan menghasilkan energi melalui proses respirasi aerob. Membran bagian dalam memiliki struktur berlekuk-lekuk disebut krista yang berfungsi memperluas bidang penyerapan oksigen, sehingga proses respirasi aerob menjadi lebih efektif

b. fungsi
Tempat berlangsungnya respirasi arob dan menyediakan energi untuk aktifitas sel

6. Lisosom


a. Struktur
Bentuk bulat yang terbungkus oleh satu lapisan membran. Lisosom banyak terdapat pada sel-sel yang memiliki kegiatan fagositik seperti sel darah putih