Pendidikan pada saat ini tidak lagi menjadi kegiatan spontan tanpa suatu pengorganisasian yang ketat dan terpadu. Orang tua telah memberikan peranan dan fungsi pendidikan rumah kepada sekolah-sekolah mulai dari play group hingga perguruan tinggi. Orang tua juga masih memasukkan anaknya ke lembaga-lembaga kursus dan lembaga bimbingan belajar termasuk mengikutkan anak pada les-les privat di rumah.
Orang tua mengambil sikap seperti ini karena mereka merasa tidak punyai waktu untuk melaksanakan pendidikan rumah secara efisien. Juga karena mereka sudah terikat dengan kesibukan profesional mereka entah sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, karyawan perusahaan, orang bisnis, atau sebagai buruh bangunan. Pendidikan dalam paradigma berpikir sebagian orang tua pada saat ini, merupakan peran tunggal para guru - dan seolah hanya di sekolah proses pendidikan itu dilakukan.
Kenyataan ini mengakibatkan hampir seluruh proses pendidikan anak oleh orang tua di rumah dilimpahkan ke sekolah-sekolah. Bahkan soal pembinaan moral keagamaan tidak lagi menjadi urusan keluarga saja melainkan menjadi urusan lembaga pendidikan formal di sekolah. Dengan demikian maka proses pendidikan akhirnya mengalami pergeseran makna yang tidak signifikan dengan misi dasarnya "memanusiakan manusia".
Efek terhadap pelembagaan pendidikan telah menimbulkan dampak sosial yang tidak sepele. Fakta bahwa sekolah sudah hadir di tengah masyarakat sebagai suatu lembaga sosial dan menjadi sub-sub sistem sendiri, tidak lagi dapat di sangkal oleh siapa pun juga. Proses pelembagaan pendidikan secara formal lewat sekolah didesak oleh perkembangan masyarakat yang beralih dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri dan teknologi, maupun oleh tuntutan kebutuhan yang diakibatkan pertumbuhan dan perkembangan itu sendiri. Soal peningkatan produksi, misalnya, membutuhkan suatu kerja yang tidak setengah-setengah baik dalam hal penggunaan waktu, peralatan, dan perhitungan biaya laba-rugi. Semua ini membutuhkan dan mengandalkan ilmu pengatahuan sebagai pra syarat utama pencapaiannya. Dan untuk itu, rupanya keluarga dan rumah tangga bukanlah tempat yang paling cocok. Maka sekolah pun tampil sebagai alternatif baru sebagai lembaga pengembangan ilmu pengetahuan secara professional.
Penting dan perlunya lembaga pendidikan sekolah menjadi kentara kalau ditempatkan dalam konteks modernisasi pembangunan yang berciri semesta. Bagaimana pun hampir tidak ada negara modern yang maju dalam segi modernisasi tanpa pendidikan sekolah yang dikelola secara profesional. Itu berarti, modernisasi pembangunan hanya berjalan kalau ada tenaga-tenaga profesional yang dididik dan dibina menurut disiplin ilmu yang dibutuhkan. Dan di sekolah hal itu akan terpenuhi.
Sayangnya, proses pelembagaan pendidikan bukan saja membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) semata, tetapi pelembagaan pendidikan juga telah turut melahirkan berbagai masalah sosial yang tidak manusiawi. Dari proses pelembagaan pendidikan itu akhirnya tidak semua masyarakat bisa mendapatkan kesempatan pendidikan - yang ujung-ujungnya tidak sedikit anak-anak usia sekolah yang terpaksa tidak menikmati indahnya dunia pendidikan dan kemudian memilih menjadi pengamen, pengemis, penjual koran, buruh bangunan, dan lain sebagainya. Akibat pelembagaan pendidikan itu juga, gap antara masyarakat kaya dan miskin menjadi semakin lebar - sehingga munculnya kecemburuan sosial yang kemudian melahirkan masalah sosial baru.
Pada tataran ini Ivan Illich, seorang ahli pendidikan mengamati dampak negatif yang timbul setelah terjadinya proses pelembagaan pendidikan lewat sekolah-sekolah. Tesis Illich yang pokok mengatakan bahwa sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal, kini tampil dan menghadirkan dirinya sebagai suatu lembaga struktural baru yang justru menggali jurang (gap) sosial. Sebagai suatu lembaga sosial, sekolah sudah tidak lagi dapat menjalankan peran dan fungsi sosialnya secara terpadu.
Sekolah sebagai suatu institusi sosial dalam pengamatan Ilich telah melembagakan dirinya sebegitu rupa sehingga tidak berbeda jauh perangai dan wataknya dari institusi-institusi sosial lainnya yang cenderung berciri elitis dan mempertahankan status quo. Bahkan segelintir orang yang mengenyam pendidikan formal, akan membentuk kubu elite sosial setelah ada legitimasi lewat pendidikan formal berupa ijazah, kepandaian, kesempatan belajar untuk menjadi tenaga ahli, yang dalam kehidupan bermasyarakat sering memegang peranan dan posisi kunci dalam membentuk kebijakan sosia-ekonomi yang menyangkut hidup orang banyak. Dalam situasi seperti ini, maka peluang korupsi, kolusi, dan nepotisme termasuk monopoli kepentingan dan kebutuhan sering tak terhindarkan.
Pada kekinian, pengelolaan lembaga pendidikan sekolah secara profesional sesuai tuntutan zaman telah menjadikan sekolah sebagai suatu barang istimewa yang sangat mahal biayanya. Soal peningkatan mutu pendidikan, misalnya, selalu mengandalkan ketersediaan fasilitas, manajemen yang berbobot, dan tenaga pengajar yang mumpuni. Atas nama itu semua, maka diperlukan biaya pendidikan yang mahal pula. Dengan demikian maka sebetulnya sekolah menjadi barang istimewa yang mahal biayanya, sehingga masyarakat kelas menegah ke bawah tidak bisa memperoleh pendidikan.
Masuk sekolah pada kekinian tidak semudah dan semurah 10-30 tahun yang lalu. Untuk masuk Sekolah Dasar swasta di Jakarta pada saat ini, misalnya, orang tua diharuskan terlebih dahulu membayar uang gedung 5-7 juta rupiah. Selain itu, SPP yang harus dibayar per bulan Rp.250.000-500.000, belum lagi uang seragam dan buku yang diharuskan beli di sekolah. Jika di jenjang pendidikan paling dasar saja biaya pendidikannya sudah sedemikian mahal maka sudah pasti jenjang pendidikan menegah dan pendidikan tinggi lebih mahal lagi - yang dengan sendirinya ada batasan kemampuan ekonomi masyarakat untuk menerima pendidikan di Indonesia .
Pada konteks inilah Ivan Illich sampai pada kesimpulan bahwa dalam praksisnya, sekolah sering menjadi alat legitimasi sekelompok elite sosial. Karena itu, Illich dengan lantang berteriak, "Bubarkanlah sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Buka dan kembangkan praksis pendidikan sekolah bebas - bebas dari segala birokratisme yang melahirkan sekelompok elite sosial serta bebas dari tuntutan profesionalisme yang menghasilkan pendidikan biaya tinggi."
Jika kita cermat, letak masalah dalam pendidikan kita adalah adanya pelembagaan pendidikan yang sedemikian ketat lewat undang-undang pendidikan, birokratisme pendidikan, dan kurikulum pendidikan - yang tidak didukung kontrol yang jelas dari elite kekuasaan. Gugatan dialamatkan pada dunia pendidikan kita saat ini juga karena pendidikan untuk semua (education for all) telah direduksi menjadi sekedar pendidikan hanya untuk mereka yang kaya saja - setidaknya dilihat dari kenyataan yang ada saat ini.
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO
1 komentar:
14 Oktober 2016 pukul 08.19
Bagaimana Menciptakan Lembaga Pendidikan yang Baik dan Bermutu?
Untuk menjawab pertanyaan di atas maka langkah pertama yang harus dilakukan seorang kepala sekolah / pengelola lembaga pendidikan yaitu senantiasa memperhatikan dan mengidentifikasi keinginan-keinginan dari pihak-pihak yang terkait antara lain :
1. Pemerintah
Keinginan pemerintah yaitu kepatuhan seorang pengelola lembaga pendidikan terhadap semua peraturan-peraturan yang berlaku.
2. Siswa dan orang tua
Keinginannya mendapat pelayanan yang baik dengan hasil tamatan yang berkualitas, berbudi luhur, terampil dan bertanggung jawab.
3. Komunitas
Memerlukan lingkungan kerja yang sejuk, nyaman dan kondusif untuk pengembangan diri.
4. Guru dan karyawan
Membutuhkan kesejahteraan yang baik, jaminan kesehatan dan keselamatan.
5. Investor
Mengharapkan reputasi yang baik.
6. Institusi lain
Membutuhkan tenaga kerja yang siap pakai.
Baca selengkapnya >>
Posting Komentar