Dalam satu ruangan kelas, Yulianus Ulo (25) harus bergantian mengajar anak-anak kelas I dan II SD Persiapan Gueintuy di Distrik Warmare, Kabupaten Manokwari, Papua Barat.
Usai 10 menit mengajarkan 1 + 1 bagi 10 anak kelas I yang hadir saat itu, ia harus berpindah ke papan tulis kedua yang berisi pelajaran Bahasa Indonesia kelas II. Ketika lepas dari pengawasan guru, anak-anak kelas I itu asyik bermain sendiri sehingga suasana sangat berisik.
Masih di ruangan itu, Kepala Sekolah Yahya Wonggor dengan kalem mengajarkan pelajaran perkalian bagi anak-anak kelas III. Saat Yahya ada kegiatan di kota, tugas Yulianus bertambah. Ia harus mengajar di ketiga kelas sekaligus, lengkap dengan semua mata pelajarannya di satu ruang kelas dan saat bersamaan. Demikian pula jika Yulianus absen di kelas.
”Waduh, saya sakit kepala mengajar dua kelas bersamaan. Ributnya bukan main. Tetapi inilah kondisinya, anak-anak harus mendapatkan pendidikan,” tutur Yulianus, putra asli Gueintuy. Meski hanya berbekal ijazah sekolah menengah atas, ia telah mengajar anak-anak SD Persiapan ini selama tiga tahun.
Proses belajar-mengajar yang tak sehat ini juga berpengaruh pada siswa putra-putri asli Papua setempat yang sebagian besar masih bertelanjang kaki itu. Mereka kesulitan menerima pelajaran sekolah.
Saat Kompas mencoba bertanya kepada seorang anak kelas III, berapa 7 x 5, anak itu spontan mengerahkan semua jari tangan dan kaki serta jari teman-temannya untuk melipatkan tujuh jari sebanyak lima kali. Hasil perkaliannya pun salah, 34.
Yulianus mengakui anak-anak setempat baru mengenal angka dan belum mahir dalam berhitung. Kemampuan membaca siswa-siswi juga masih jauh dari harapan. ”Yang sudah lancar membaca baru tiga anak, itu pun anak kelas III semua,” ujarnya.
Balai kampung
Saat lulus SMA tahun 2005, Yulianus melihat murid SD Persiapan Gueintuy hanya diajar seorang guru. Karena itu, ia memberanikan diri menggunakan ijazah SMA-nya untuk menjadi guru honorer di SD pecahan dari SD Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) Warmare itu dengan bayaran Rp 200.000 per bulan. Nominal yang sangat jauh dari upah minimum regional Papua Barat, Rp 1,2 juta.
Selama mengajar yang dimulai tahun 2005, ia berusaha meningkatkan kapasitasnya dengan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Mah-Eisa di Kota Manokwari yang berjarak sekitar 13 kilometer dari Gueintuy. Biasanya, ia pergi kuliah seusai mengajar yang maksimal sampai pukul 11.30. Usahanya membuahkan hasil, pada bulan Februari ia diwisuda dengan gelar sarjana muda di STIE.
Proses belajar-mengajar di SD Persiapan Gueintuy berlangsung di balai kampung setempat. Balai ini setiap hari Sabtu pagi juga digunakan untuk ibadah Gereja Kristen Alkitab Indonesia sehingga anak-anak harus diliburkan.
Sebenarnya, bangunan baru bagi anak-anak SD Persiapan ini sudah tersedia dengan tiga ruang kelas yang berjarak sekitar 500 meter dari balai kampung. Namun, mereka belum pindah ke bangunan berwarna kuning itu karena belum tersedia perabotan kelengkapan kelas.
Sementara saat proses belajar-mengajar sekarang di balai kampung, pembeda kelas I dan II berdasarkan susunan kursi plastik yang diatur sejajar dengan jarak pemisah tidak lebih dari 1 meter. Di sisi berlawanan, kursi juga diatur sejajar untuk tempat duduk anak kelas III.
Tak ada meja yang digunakan siswa putra-putri asli Papua itu untuk menulis. Mereka menulis hanya beralaskan paha masing-masing. Sementara papan tulis hanya disandarkan ke dinding sehingga guru harus berjongkok saat menorehkan kapur tulisnya.
Yahya Wonggor menuturkan, SD Persiapan Gueintuy ini dirintis sejak tahun 2000. Pasalnya, di kampung dengan sekitar 80 keluarga ini, sebagian besar anak-anak malas berangkat ke sekolah terdekat di SD YPK Warmare yang jaraknya mencapai 4 kilometer.
”Kalau tidak sekolah sejak SD, mereka tidak akan berpendidikan. Saat besar nanti, mereka hanya akan menghabiskan waktu untuk mabuk. Padahal, orang Papua harus berpendidikan agar cepat maju,” ujarnya.
Kini, untuk sementara SD Persiapan hanya menampung anak-anak kelas I, II, dan III. Untuk kelanjutan kelas IV, V, dan VI hingga SMP dan SMA, mereka harus melanjutkannya ke kota distrik di Warmare.
Bersekolah di SD Persiapan itu orangtua siswa tidak ditarik uang sepeser pun. Meski demikian, tingkat kehadiran anak-anak sangat rendah. Dari total 60 siswa, tak jarang yang hadir hanya separuhnya. Penyebabnya, anak-anak malas ke sekolah dan tidak ada dorongan orangtua.
Kondisi serupa
Pemandangan serupa juga terdapat di SD Inpres Sugemeh Amban Manokwari. Di SD yang hanya berjarak 3 kilometer dari kantor Gubernur Provinsi Papua Barat dan kurang dari 400 meter dari Universitas Negeri Papua ini, satu ruangan digunakan untuk proses belajar-mengajar murid kelas I hingga IV. Murid kelas V dan kelas VI juga menggunakan ruangan sama saat siang hari.
Kepala SD Inpres Sugemeh Budi Sunarso mengatakan, kondisi ini telah berlangsung sejak sekolah didirikan tahun 1998. Sekolah ini pindahan dari daerah pedalaman Menyanbouw karena warganya pindah bersama-sama ke Amban.
Kini, Budi mengajar dengan dibantu seorang guru tetap dan seorang guru honor. Masing-masing mengajar dua kelas di satu ruangan dalam waktu yang sama. Bisa dibayangkan bagaimana ribut dan konsentrasi guru dan anak terpecah.
Ketika Kompas menyambangi sekolah itu, beberapa waktu lalu, dua guru sedang mengajar anak-anak kelas I hingga IV. Kondisinya lumayan baik dibandingkan dengan kelas di Gueintuy. Peserta didik dan guru sudah dilengkapi meja dan kursi kayu yang berimpit dan membelakangi antara kelas I dan III serta kelas II dengan IV.
Guru honorer setempat, Lilis Rumansara, mengaku tetap sulit berkonsentrasi saat mengajar. Ia berharap ruang kelas tambahan bagi proses belajar-mengajar segera disediakan. Kini, sebuah ruang kelas memang telah disediakan Pemerintah Provinsi Papua Barat. Namun, ruang itu belum dapat digunakan karena dipakai untuk gudang menyimpan semen dan berbagai bahan bangunan untuk pembangunan dua ruang baru yang disediakan Pemerintah Kabupaten Manokwari. Papua Barat, yang pemerintahannya mulai eksis sejak 2006, berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional 2008, memiliki 777 sekolah dasar negeri/swasta dengan 109.246 siswa. Angka putus sekolah di daerah ini cukup tinggi, yaitu 3,69 persen (2008), atau telah membaik dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 5,28 persen.
Ketua Dewan Adat Papua Wilayah Manokwari Barnabas Mandacan mengatakan, gambaran kondisi sekolah di Warmare dan Amban seperti yang diuraikan di atas cukup menunjukkan kualitas pendidikan di Papua. ”Saya melihat peningkatan kualitas pendidikan hanya tampak di kota. Di daerah pedalaman, rata-rata guru memang ada, tetapi jarang hadir karena sering di kota dengan berbagai alasan,” ujarnya.
Hal-hal seperti ini, kata Barnabas, membuat masyarakat menilai status otonomi khusus beserta seluruh kewenangan dan dana yang diberikan pusat kepada pemda telah gagal dilaksanakan. Ia menekankan, jika peningkatan pendidikan yang menjadi salah satu amanat otonomi khusus tidak dilaksanakan, teriakan-teriakan ”merdeka” akan terus terdengar.
Ia menuturkan, masyarakat hanya mengetahui pemerintah daerah menerima triliunan rupiah dana otonomi khusus, tetapi seperti tak menetes kepada mereka. Ia mencontohkan, tahun 2010 ini pertama kalinya Papua Barat menerima dana otonomi khusus sebesar Rp 1,75 triliun. ”Pemerintah daerah harus membuka secara transparan kepada masyarakat akan tiap rupiah penggunaan dana-dana itu,” ujarnya.
Sementara itu, cendekiawan Papua Barat, Prof Frans Wanggai, mengakui, perkembangan pendidikan belum memenuhi harapan masyarakat pasca-berlakunya otonomi khusus bagi Provinsi Papua sejak 2001. ”Masyarakat ingin cepat melihat perubahan, tetapi kemajuan itu perlu proses, evaluasi, dan penyempurnaan yang membutuhkan waktu,” ujarnya.
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO
0 komentar:
Posting Komentar