Sikap Pemerintah dalam Dunia Pendidikan

Kamis, 14 Oktober 2010
UN dan Tiga Potret Dunia Pendidikan Kita

|
1 dari 1 Kompasianer menilai Aktual.

Keputusan MA mengenai UN dan polemik yang mengikuti keputusan tersebut membuat saya selama beberapa hari ini mencoba mempelajari UN. Hal yang membingungkan saya adalah mengapa masyarakat kita begitu hitam putih, membagi dirinya menjadi kelompok pro dan kontra UN. Mengapa tidak ataupun sedikit sekali yang memberikan masukan untuk memperbaiki pelaksanaan UN? Saya sebagai orang yang tidak terlibat UN mencoba untuk mempelajari beberapa tulisan terbaru yang dapat saya akses melalui internet dan dari pembelajaran yang mungkin tidak lengkap ini saya melihat tiga potret dunia pendidikan kita yang terkuak melalui UN.
Tiga Potret Dunia Pendidikan Kita
Potret pertama adalah potret yang telah disahkan oleh MA, sebuah potret kelalaian Pemerintah dalam meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah dan akses informasi di seluruh daerah. St Kartono dari SMA Kolese De Britto mencatat banyak sekali gedung sekolah yang dalam keadaan rusak.Pada tahun 2003 terdapat 531.186 ruang kelas yang rusak, dan dalam 5 tahun baru diperbaiki sekitar 70% dari jumlah tersebut, sementara itu dalam 5 tahun ini tentunya terjadi tambahan gedung kelas yang rusak. Kondisi gedung kelas hanyalah satu dari sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh sekolah.
Kelalaian ini telah menimbulkan ketidak-merataan dalam ”kualitas guru, sarana dan prasarana dan akses informasi” yang pada akhirnya menimbulkan rasa ketidak-adilan karena UN tidak mengakomodasi perbedaan kualitas sarana belajar mengajar yang diperoleh siswa. Siswa dari sekolah yang terbatas ini dinyatakan sebagai korban UN dan diklaim mengalami gangguan psikologis dan mental akibat penyelenggaraan UN. Guru-guru kemudian mencoba membantu para murid dengan memberikan kesempatan menyontek ataupun memberikan kunci jawaban. Pada saat guru dan murid berkolusi untuk menyontek, maka hancurlah suatu generasi muda, karena mereka diajar untuk melakukan kecurangan.
Potret kedua adalah potret yang tidak terlalu banyak terlihat karena tertutup potret pertama, yaitu Sekolah dan Guru sebetulnya juga lalai dalam memberikan pengalaman belajar mengajar yang memadai bagi siswanya. Hal ini berdasarkan kenyataan banyak sekolah dengan fasiltas memadai yang juga melakukan kecurangan. Bahkan disinyalir sekolah-sekolah favorit lebih berani dalam mengatrol nilai siswanya. Semua ini dilakukan untuk mempertanggung-jawabkan fasilitas yang diberikan dan menjaga reputasi sekolah sebagai sekolah favorit. Tindakan ini dilakukan karena banyak siswa yang , menurut St Kartono, masih sempat ketawa ketiwi tidak memperlihatkan rasa malu ataupun rasa penyesalan jika nilai mereka jelek. Siswa yang ingin mengerjakan UN dengan jujur dan sungguh-sungguh tentunya menjadi korban dari tindakan ini.
Adanya potret kedua ini membantah asumsi bahwa ketidak-merataan dalam fasilitas inilah yang menjadi sebab terjadinya penyimpangan-penyimpangan di dalam pelaksanaan UN. Mengalami kegagalan dapat dikatakan merupakan bagian dari pelajaran hidup yang dapat dimanfaatkan oleh siswa yang tidak lulus.
Bahkan seorang siswa dari daerah menulis di Kompasiana bahwa dia lebih menyukai UN karena bisa membandingkan prestasi siswa-siswa Jakarta. Mungkin dia menganggap UN sebagai tantangan untuk membuktikan bahwa siswa daerah tidak kalah dengan siswa Jakarta yang fasilitasnya jauh lebih baik. Jika suara siswa ini mewakili sebagian besar siswa, maka kita boleh bernafas lega bahwa siswa-siswa kita di daerah masih bermental baja yang tidak mudah menyerah.
Di Jakarta sendiri, saya sering melihat di pagi-pagi subuh, pada saat hari masih gelap dan dingin karena matahari belum terbit, beberapa anak sekolah sudah meninggalkan rumahnya berangkat ke sekolah. Biasanya anak-anak tersebut menggunakan beberapa kali kendaraan umum dan kemungkinan jarak sekolahnya cukup jauh sehingga mereka harus bangun dan berangkat lebih pagi dibandingkan teman-temannya. Di rumahnya mereka mungkin harus belajar di meja makan karena tidak memiliki meja tulis dan kamar sendiri, sementara untuk akses internet harus ke warnet. Guru-guru tentunya tetap memberikan soal ulangan yang sama untuk satu kelas walaupun kondisi mereka berbeda dengan teman-temannya yang diantar ke sekolah dengan mobil, memiliki meja tulis di kamar tidur yang ber AC dan dapat mengakses internet kecepatan tinggi kapan saja dan dimana saja tanpa batas. Dan siswa-siswa itu tentunya tidak mengeluhkan perbedaan kondisi yang mereka hadapi.
Potret ketiga adalah potret kegagalan Pemerintah dalam menyelenggarakan UN. Penyelenggaraan UN saat ini memberikan peluang terjadinya penyontekan. Depdiknas sepertinya tidak dapat mengendalikan situasi yang terjadi. Mereka sampai menggunakan polisi untuk menjaga pelaksanaan UN, tapi penyontekan terus meningkat. Pengawasan di kelas oleh sesama guru dari sekolah lain kelihatannya lemah, baik kemungkinan disebabkan solidaritas sebagai sesama pihak yang tertekan dengan pelaksanaan UN ataupun memang tidak dimaksudkan untuk menangkap pelaku penyontekan agar tidak tercatat sebagai suatu kasus penyontekan.
Berbagai tekanan terhadap pelaksanaan UN tampaknya membuat Pemerintah berupaya untuk tidak menambah gejolak penolakan jika mereka melakukan tindakan-tindakan yang tegas. Rencana pengulangan UN pada sekolah-sekolah yang terindikasi menyontek dibatalkan. Kasus menyontek sendiri dianggap sebagai kasus kecil dan berarti sehingga diharapkan tidak mengurangi kredibilitas UN. Sementara berbagai cerita-cerita kecurangan dan nilai-nilai siswa yang tidak masuk akal beredar dari mulut ke mulut dan dari blog ke blog.
Pemerintah juga berupaya mengakomodasi pihak-pihak yang dianggap berpotensi menjadi korban UN dengan tiba-tiba mengubah jadual UN agar memberi kesempatan mengulang kepada mereka. Keputusan ini pada dasarnya menambah penderitaan seluruh peserta UN, baik Sekolah, Guru dan Siswa, karena mereka harus mengubah seluruh program dan rencana mereka serta membuat aksi-aksi percepatan. Keputusan populis ini pada akhirnya justru menimbulkan antipati yang lebih besar terhadap UN.
Kenapa UN Perlu Terus Diselenggarakan?
Tiga potret dunia pendidikan kita yang terdokumentasikan melalui UN bermuara kepada satu kesimpulan, yaitu kegagalan kita menyelenggarakan pendidikan. Kolusi dan kecurangan yang dilakukan guru dan murid merupakan suatu tragedi, suatu penciptaan generasi yang dididik untuk menerima kenyataan bahwa untuk mencapai keberhasilan (lulus dengan nilai tinggi) dapat dilakukan segala cara, termasuk berbuat curang. Suatu generasi yang dipersiapkan untuk melakukan korupsi.
UN telah memberikan kita suatu potret yang menyakitkan, mungkin karena itu kita tidak menyukai UN. Jika tidak ada UN, segala kecurangan dan kelalaian pelaksanaan pendidikan, baik penyontekan, pengatrolan nilai, murid yang bolos dan kabur dari sekolah, guru yang sering tidak masuk, guru yang mengajar seadanya, tersimpan baik-baik di sekolah. Sementara kasus narkoba dan pergaulan bebas hanya menjadi pembicaraan di antara teman. Di permukaan, masyarakat hanya melihat kasus-kasus tawuran dan bentuk-bentuk kekerasan lain di dalam sekolah, yang kita anggap sebagai kasus sekelompok anak nakal. Sesekali menjadi pembicaraan umum, kemudian terlupakan.
Banyak kritik, gugatan ataupun penolakan kepada UN dari para ahli pendidikan yang melihat UN sebagai kontra produktif terhadap proses pendidikan berjalan. Masalahnya kritik tersebut mungkin berdasarkan asumsi bahwa selama ini pendidikan telah berjalan dengan baik, tanpa UN. Kenyataannya, tanpa UN kita tidak memperoleh kesempatan kenyataan yang lebih buruk dari apa yang ingin kita lihat, yaitu telah terjadi kelalaian yang dilakukan oleh Pemerintah, Sekolah dan Guru. Melalui UN kita bisa lebih realistis melihat pendidikan kita sekaligus belajar dari kesalahan dan berupaya untuk memperbaikinya.
Berikut ini adalah beberapa manfaat yang dapat kita peroleh jika kita melanjutkan penyelenggaraan UN.
  1. UN menciptakan Akuntabilitas Depdiknas, Sekolah dan Guru
UN merupakan bentuk penerapan akuntabilitas publik bagi Depdiknas atas penyelenggaraan pendidikan yang mereka lakukan rakyat Indonesia atas penggunaan dana 20% dari APBN. Dengan UN, Depdiknas dapat menyatakan secara objektif sasaran kinerja yang akan dicapai dan tingkat pencapaiannya. Depdiknas dapat menggunakan ukuran kinerja seperti persentase jumlah anak usia sekolah yang bersekolah atau perbandingan antara jumlah anak usia sekolah dengan jumlah sekolah, namun apa yang diperoleh murid dari sekolah tidak terukur. Mungkin saja siswa datang ke sekolah tidak untuk belajar, melainkan tawuran, misalnya.
UN juga bentuk akuntabilitas sekolah dan guru atas proses pendidikan yang diberikan. Bagaimana kita mengukur bahwa sekolah telah memberikan pendidikan yang sesuai dengan kurikulum dan guru-guru telah memberikan materi sesuai dengan yang direncanakan serta menciptakan proses belajar mengajar yang efektif. Bagi sekolah dan guru ada suatu ukuran keberhasilan yang dapat dibandingkan dengan sekolah dan guru lainnya yang membuat mereka menjadi lebih bersemangat untuk melakukan proses belajar mengajar, sehingga pada akhirnya tercipta kinerja yang terus meningkat.
Pada saat ini tidak ada suatu ukuran baku untuk mengevaluasi apakah Depdiknas, sekolah dan guru telah melaksanakan proses pendidikan sesuai dengan yang diharapkan. Sulit pula untuk mengevaluasi apakah biaya yang telah kita keluarkan untuk proses pendidikan sesuai dengan hasil yang diharapkan.
2. UN merupakan cara yang lebih cepat dan efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan
Hasil UN sebagai indikator kinerja output memudahkan Depdiknas dan Sekolah untuk melakukan analisis jika terjadi hasil-hasil yang tidak memuaskan. Di masa lalu, sebelum ada UN, Pemerintah lebih berorientasi kepada input, melalui pembangunan sekolah dan prasarananya dan penyediaan guru dalam jumlah yang besar, untuk memenuhi kewajibannya memberikan kesempatan kepada seluruh anak usia sekolah untuk dapat bersekolah. Selain itu, Pemerintah sibuk bolak balik memperbaiki ataupun mengganti kurikulum berikut buku yang terkait, tanpa suatu hasil evaluasi terhadap kualitas output secara menyeluruh hasil dari penggunaan kurikulum lama. Timbul dampak negatif seperti korupsi yang mengakibatkan gedung sekolah roboh, kualitas guru yang tidak terjaga, dan murid beserta guru dan orang tuannya yang kebingungan dengan perubahan kurikulum, sementara itu hasil dari seluruh proses pendidikan tidak terukur.
Dengan pelaksanaan UN saat ini, Masyarakat dan Pemerintah dapat lebih mudah melihat permasalahan yang dihadapi saat ini, seperti tidak meratanya kualitas guru, ketersediaan fasiltas dan akses informasi, kerapuhan daya tahan siswa menghadapi kegagalan, dan sikap mental siswa-guru mencari jalan pintas dalam menghadapi kesulitan. Klaim terhadap kelalaian Pemerintah dalam meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap se-Indonesia sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan UN juga dikemukakan setelah melihat hasil UN.
3. UN mendukung sistem seleksi siswa baru yang lebih transparan dan efisien
Penggunaan indikator nilai UN yang juga digunakan sebagai seleksi siswa ke sekolah yang lebih tinggi yang didukung oleh PSB online telah menciptakan sistem seleksi siswa SMU yang lebih transparan dan efisien dibandingkan setiap siswa harus mengikuti beberapa kali ujian pada masing-masing sekolah yang dipilih yang tentunya memiliki konsekuensi biaya. Kegagalan berturut-turut dalam mengikuti test seleksi lebih menimbulkan gangguan psikologis dan mental.
Beberapa Agenda Penyempurnaan UN
Berikut ini adalah beberapa usulan perbaikan UN yang pada intinya: penyempurnaan soal UN untuk mengatasi ketidak-merataan di antara sekolah, pengetatan penyelenggaraan UN tanpa harus menakut-nakuti siswa sehingga membatasi ruang gerak sekolah dan guru untuk bekerjasama melakukan kecurangan, peningkatan kemampuan belajar dari Depdiknas untuk dapat menyelenggarakan UN dengan lebih baik
1) Penyempurnaan Soal UN untuk menyelesaikan masalah ketidakadilan
Ketidakadilan akibat ketidakmerataan kualitas guru, prasarana belajar yang tersedia dan akses terhadap informasi merupakan keberatan utama terhadap UN. Masalah ketidak-adilan ini dapat dipecahkan dengan menyempurnakan proporsi soal-soal dalam UN, yang selama ini 100% dibuat oleh Badan Standarisasi Pendidikan Nasional. Sebagian soal UN dapat dibuat oleh BSPN atau Kantor Dinas Pendidikan tingkat Propinsi/Kabupaten dan sebagian lagi dapat dibuat oleh sekolah, sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah:
A
B
C
Soal Ujian Nasional (BSPN)
40%
40%
40%
Soal Ujian Daerah (Propinsi/Kabupaten).
60%
30%
0%
Soal Ujian Sekolah
0%
30%
60%
Jenis UN A terdiri dari 40% soal ujian yang berlaku secara nasional dan 60% soal ujian yang berlaku untuk daerah tertentu. Soal UN B terdiri dari 40% soal ujian yang berlaku secara nasional, 30% soal ujian yang berlaku untuk daerah tertentu, dan 30% soal ujian sekolah. Sedangkan soal UN C terdiri dari 40% soal ujian yang berlaku secara nasional dan 60% soal ujian sekolah.
Pembagian proporsi ini diharapkan akan meningkatkan peluang kelulusan bagi siswa dan mengatasi ketidak-merataan yang terjadi. Penetapan proporsi soal dilakukan berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah Daerah dengan sekolah-sekolah. Idealnya kesepakatan memilih jenis UN A atau B, sedangkan UN C hanya digunakan untuk sekolah-sekolah yang benar-benar merasa kualitas guru dan prasarananya jauh tertinggal dibandingkan sekolah-sekolah lain.
Nilai untuk soal ujian yang berlaku nasional dapat digunakan oleh Depdiknas sebagai ukuran standar pendidikan nasional sekaligus untuk seleksi penerimaan siswa baru, baik untuk tingkat SMP, SMU maupun Universitas. Untuk menjamin kualitas dan kredibilitas UN, sekolah-sekolah yang lebih tinggi dilibatkan dalam pembuatan soal sampai dengan penyelenggaraan ujian. Sejauh ini proses seleksi dan penerimaan siswa melalui PSB Online merupakan proses seleksi yang transparan, cepat dan efisien, sedangkan proses seleksi mahasiswa baru justru mengalami kemunduran di mana sebagian besar mahasiswa diterima melalui seleksi yang dilakukan oleh masing-masing Universitas. Jenis seleksi yang tidak efisien, tidak transparan dan membutuhkan waktu yang lebih lama ini malah kurang menjadi perhatian dari para pelaku dan pengamat pendidikan.
2) Penyempurnaan Pelaksanaan UN
a. Hal pertama yang dapat dilakukan oleh Pemerintah adalah mentaati rencana dan jadual yang telah mereka buat. Depdiknas harus memberi contoh mentaati dan menegakkan disiplin dalam segala hal, termasuk rencana dan jadual, sebelum meminta sekolah dan muridnya untuk disiplin.
b. Penetapan standar kelulusan dijelaskan kepada masyarakat dengan didukung oleh hasil analisis dan evaluasi yang dilakukan terhadap proses pendidikan berjalan dan nilai-nilai yang dicapai siswa
c. Pemerintah dapat menyerahkan penyelenggaraan UN kepada lembaga pendidikan yang lebih tinggi, misalnya UN SMP dilaksanakan oleh SMU dan seterusnya. Lokasi penyelenggaraan UN juga dilakukan di lokasi lembaga pendidikan yang lebih tinggi untuk memberikan rasa asing bagi peserta dan mencampur peserta dari berbagai sekolah dalam satu lokasi, mungkin berdasarkan kedekatan lokasi ujian dengan lokasi rumah.
d. Pemerintah tidak perlu berlebihan memanggil polisi untuk itu menjaga pelaksanaan UN. Sebaliknya Pemerintah perlu merekrut pengawas independen di setiap lokasi
e. Pemerintah harus memberikan insentif kepada pengawas yang berhasil menangkap penyontekan dan memberikan hukuman tidak lulus kepada siswa yang tertangkap melakukan penyontekan.
f. Depdiknas dapat bekerjasama dengan KPK untuk menciptakan sistem yang tidak memberikan peluang terjadinya korupsi dalam pengadaan dan kebocoran soal
g. Pemerintah perlu menunda penyelenggaraan UN untuk tingkat SD sampai dengan diperoleh keyakinan bahwa telah terjadi proses belajar mengajar yang baik di tingkat SD, melalui berbagai uji coba agar murid-murid SD tidak tercemar dengan prilaku curang.
3) Penyempurnaan Evaluasi UN
Evaluasi UN dapat dijelaskan secara transparan (dan dapat dilakukan oleh pihak yang independen untuk memperoleh objektivitas dalam evaluasi), meliputi:
a. Jumlah kasus penyontekan dan kebocoran soal yang ditemui, dan tindak lanjutnya terhadap sekolah, guru, siswa, dan penanggung jawab pelaksanaan UN
b. Indikasi terjadinya kecurangan yang tidak dapat ditangkap oleh pengawas berdasarkan analisis pola jawaban (yang salah) dari siswa masing-masing sekolah dan perbedaan antara hasil UN dengan hasil rapor dan upaya investigasi untuk mencari sumber kebocoran soal ataupun penyebaran kunci jawaban
c. Penjelasan atas kasus-kasus siswa yang berprestasi namun tidak lulus atau mendapatkan nilai buruk
d. Penjelasan mengenai salah soal (termasuk soal yang tidak ada jawabannya), soal yang tidak jelas, soal dengan tingkat kesalahan jawaban tertinggi, pola-pola jawaban, yang seluruhnya dapat digunakan untuk pembelajaran dan perbaikan di masa mendatang.
e. Penjelasan kepada siswa peserta UN mengenai jawaban yang benar dan kesalahan yang mereka lakukan


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar